Selasa, 23 Februari 2010

CERMIN (Cerita pendek Mini)

HALAMAN BELAKANG RUMAH KENANGAN 
  Oleh :  Pak Dhetik

         Di bagian tengah agak ke barat. Di situ dulu ada sumur tua. Sumur itu sudah ada sejak rumah itu di beli Papa. Dari seorang perempuan yang suaminya meninggal di perantauan. Di Pulau Kalimantan tempat pergi mengikuti program transmisgrasi sepontan. Sumur itu berada di bawah pohon kemuning. Di samping rerimbunan tanaman puring, yang daunnya hijau bintik-bintik kuning, bagai disebari beras kuning, yang biasa dipakai untuk segala keperluan religius. Air sumur itu sendiri sangat tidak bagus. Warnanya tidak jernih, bahkan berkesan menguning. Baunya agak kurang sedap. Tidak bisa diminum, bahkan untuk mandi pun meninggalkan aroma yang melengket di badan. 
          Saat Papa baru menempati rumah itu, yang pertama kali ditangani adalah halaman belakang rumah itu. Pohon kemuning itu ditebang, menyusul pohon lain yang agak besar, dan rumpun pisang kluthuk yang rimbun itu. juga ditebang. Rumpun-rumpun puring yang rimbun dan berkesan angker itu pun dicabut. diganti tanaman hias yang lain yang lebih populer.
           Untuk sumur itu tadinya Papa berpikiran hendak dibiarkan saja. Akan dijadikan tempat memelihara lele Dhumbo yang pada saat itu mulai trend di daerah itu. Memeng sumur itu tidak dalam. Hanya dangkal saja. Kiranya tidak pas untuk disebut sumur. Lebih pas jika diadopsi sebutan dari daerah asal papa. Cekungan seperti itu biasa disebut "belik". Ya itu sebutan tempat mandi Papa di desa sana. Yang terkadang sempat antri berjam-jam hanya untuk mandi dan mencuci alakadarnya. Meski tanpa tutup atau dinding di sekitarnya orang-orang buka baju-buka celana tanpa rasa-risi untuk mandi di situ.
            Sebagai percobaan Papa melepas tiga ekor bibit lele dhumbo. Lele itu diperoleh dari dinas Perikanan tempat Mama bekerja. Semula lele-lele itu tampak sangat sehat. Lagi pula bibit yang dilepas itu sudah agak besar, kira-kira sebesar jempol tangan kanan papa. Setiap  kali ditaburi cheki khusus untuk lele Dhumbo, ikan-ikan itu bergantian, bahkan terkadang berbarengan menyantap makanan kesukaannya itu. Ini terjadi kira-kira hanya tiga hari. Hari-hari berikutnya lele-lele itu seperti malas menyantap. Terkadang nampak seekor yang bergoyang-goyang memperlihatkan sungutnya ke permukaan air, malas untuk menyantap umpan. Anehnya hari besoknya ketiga ekor lele itu telah mengambang. Perut agak menggembung dan tak bernyawa.
             Melihat kenyataan itu Papa segera ambil kebijakan, sumur tua itu harus segera ditutup, karena sudah menelan korban, meski hanya 3 ekor lele Dhumbo. Kebijakan ini Papa ambil sebelum terjadi adanya korban yang lebih besar.
            Sumur telah ditutup. Papa ingin punya kolam ikan di belakang rumah. Papa suruan orang untuk menggali tanah untuk kolam. Lokasinya di sebelah timur agak ke selatan. Di bawah rumpun bambu ori milik Jinawi. Tiga hari digali sudah keluar air dengan melimpah, tanpa dibuat seluran pemasukan. Air itu air tanah. di daerah itu memang sangat murah air, dan bagus untuk sumur artesis yang siap minum walaupun tanpa direbus terlebih dahulu.
            Telah ditebar bibit Nila, juga dibeli di Dinas Perikanan Kota oleh Mama. Ternyata perkembangannya bagus sekali. Ikan-ikan Nila itu cepat sekali besar. setiap pagi menampakkan diri. Ini terjadi jika kolam belum tertimpa sinar matahari. Tampaknya ikan-ikan itu mencari oksigin. Kolam tampak dihiasi warna kuning dan merah. Itu adalah warna-warna dominan ikan Nila yang papa tebar di situ.
             Memelihara ikan tampaknya menggairahkan Papa. Jika sore hari tiba, selepas kerja papa sering menunggui kolam itu. Teman-teman Papa banyak pula yang datang turut menikmati indahnya ikan-ikan yang berenang. Akirnya halaman belakang rumah yang tak kurang dari 250 m  persegi itu dijadikan kolam semua. Cukup luas juga buat ukuran kolam hias. Maka dikira orang itu adalah kolam pemancingan. Kepala sekolah Papa pun suka memancing di sana. terkadang bersama anak lelakinya yang sudah lulus STAN dan berdinas di Jakarta. Dapatnya lumayan juga.
             Minora telah mulai belajar berjalan. Papa ambil keputusan kolam harus segera ditutup. Lagi-lagi dengan alasan demi keselamatan. Segera tanah diratakan dan ditanami rumput hias yang berdaun lembut derwarna hijau kekuningan. Pagar sekeliling rumah dan pekarangan pun sudah jadi. dari batako. Bagian pinggir halaman yang masih selebar lapangan basket itu ditanami pepohonan. di sebelah pojok timur laut kelapa gading, selatannya sedikit mangga arum manis selatannya lagi agak dekat ke tembok rumah mangga gadung, di sebelah utara juga masih ada 2 pohon mangga arum manis yang bersebelahan.
             Saat Minora sedang lucu-lucunya belajar berlari semua anggota keluarga setiap sore terkonsentrasi di halaman belakang rumah kenangan ini. Ceria sudah bisa naik sepeda. ia berputar-putar di pinggir, bergantian dengan Mama.
             Minora sudah SD kelas tiga. teman-temannya bermain ke rumah. Bahkan ada saja teman-temannya yang  bermalam di rumah, mereka adalah Mbak Mitha, Ethak, dan Mitha kecil. sore hari halaman belakang rumah ini ramai dengan anak-anak tetangga, ada Ayu, ada Lia, ada Dita dan Angga. Papa suka bermain bulu tangkis di sini, meski papa tak pernah secara serius menekuni suatu bidang olahraga. Hanya sekedar jaga kesehatan dan menemani mama mempertahankan kelangsingan.
              Kini halaman belakang itu tinggal kenangan.