PEMANDIAN TASENAN
Oleh : Pak Dhetik
Dari kota Bondowoso menuju selatan. Arah ke Jember. Jalannya mulus dan lebar, tak bergelombang, apalagi berlobang. Bila bermobil dari kota Bondowoso, tidak sampai seperempat batang rokok yang terhisap, tentu sudah sampai di lokasi kolam.
Kolam itu letaknya menyamping ke kiri dari jalan besar. Itu jika dari arah utara. Dari kota di mana Papa, Mama, Ceria, dan Minora bertempat tinggal. Berbelok ke timur dari jalan raya, ini jalannya agak sempit, tapi datar. Berbelok ke kanan, ke selatan mula-mula datar, lalu menurun tajam. Letaknya seperti di dalam cekungan, di bawah rerimbunan pohon-pohon kecil dan besar, pohon berdahan maupun bersulur.
Air kolam ini dari sumber alami. Jernih lagi sangat deras, segar, setengah dingin, seperti air Aqua galonan tidak membuat "serik" jika tertelan. Sayang sekali pemandian ini sangat sepi, layaknya pertapaan saja. Tidah seperti di Selecta yang hampir-hampir airnya tidak kebagian tempat saking berjejalnya pengunjung yang berenang. Tempat ganti pakaian kala itu seperti tak terurus. reng dan usuk bangunan banyak yang patah, genting atau seng banyak yang lepas. Bahkan ada beberapa kamar ganti yang tidak berpintu, dilepas karena sudah usang. Gambaran ini setidaknya sesuai yang dilihat papa. Kala papa masih bujangan. Yang terkadang datang ke sana bersama teman sewaktu masih kos di Mbak Ida di belakang Masjid Jamik di sebelah barat alun-alun kota.
Sepuluh tahun kemudian, di saat Minora sudah TK, keadaan kolam tidak jauh berbeda. kamar ganti pakaian itu, menara tempat loncat perenang itu, dan tempat peluncuran tambah gawat, dan membahayakan, hanya terdapat sedikit perubahan pada tempat mandi, air pancuran. disana telah diberi atap dari seng. Tempat air memancur itu juga telah diganti dengan pipa air tiga inci.
Selain itu perubahan yang sangat kentara adalah pohon bendo di pojok barat utara itu tambah besar. Dulu hanya sebesar pinggang Papa. Telah menjadi besar, kira-kira dua kali rangkulan orang dewasa.
Sore itu menjelang Ashar, berempat: Papa, Mama, Ceria, dan Minora ke sana.
Seperti biasa suasana di situ waktu itu. seperti tempat menyepi, bukan seperti area sekreasi. Sejak datang hingga pulang tak ada lagi pengunjung yang datang. Papa, seperti biasa yang "ambyur" duluan di sebelah selatan, di tempat yang dalam. Lalu menyelam sampai agak lama, sepertinya membuat kejutan, tiba-tiba tembus di sebelah ujung utara yang dangkal tempat Mama, Ceria, dan Minora belajar berenang dengan agak ketakutan. seperti anak kelinci di ketinggian. Prilaku papa ini dikatakan sebagai "ngempe" oleh Mama.
"Ayo aku ajari berenang Ceria," kata Papa
"Takut Pa, di sini aja," jawab Ceria
"Aku ajali, Papa," sela Minora serasa menyaingi kakaknya.
"Baiklah Minora memang pembelani, ayo....ayo Papa ajalin,
"Uch....uch....aep....aep ah.... dak bica, Pa"
Hari-hari seperti itu, sering berulang. Jika ada waktu senggang keluarga Ceria ke Pemandian Tasenan.
Rekreasi murah, ceria, dan sehat. Sepuluh tahun telah lewat, Papa, Mama, Ceria, dan Minora tak lagi berkunjung ke Pemandian Tasenan, tak lagi mencicipi kacang rebus yang masih bertangkai kas Tasenan, atau lepet janur kuning yang bulat panjang, yang dijual seikat-seikat, sepuluhp-sepuluh isinya. Kala itu harganya lima ratus rupiah satu ikat.
Keluarga Ceria telah pindah. Pindah sebelah barat Pemandian Metro. Dekat sekali, bahkan Papa setiap hari melewati tapi, baru sekali sejak sepuluh tahun belakangan ini. Itu pun Papa dan Mama tidak mandi di kolam itu. Mungkin sudah kenyang berenang di Metro saat masih SMA dulu.
Tasenan masa lalu, tentu telah berubah. Barangkali kini sudah bersaing dengan sengkaling. Semoga lepet janur kuning menandai kesukacitaan, kemajuan dan perubahanmu..